Fonetik dan Fonologi Bahasa Inggris: Sebuah Tinjauan
English Phonetics and Phonology
Peter Roach
Cambridge University Press
1998
262 Halaman
Habis Gelap Mengepullah Kopi.
English Phonetics and Phonology
Peter Roach
Cambridge University Press
1998
262 Halaman
Judul : Sekolah Bukan Pasar (Catatan Otokritik Seorang Guru)
Penulis : St. Kartono
Penerbit : Penerbit Buku Kompas – Jakarta
Cetakan Ke-1 : 2009
Tebal : 221 halaman
SEKOLAH (BUKAN) SEBAGAI KOMODITAS
Pendidikan adalah elemen penting dalam membentuk manusia yang intelek dan berkualitas. Dari sinilah asal muasal seorang pemimpin yang nanti akan memimpin negara ke depan. Menilik sistem pendidikan Indonesia, sebenarnya sejak dahulu ia menjadi concern pemerintah. Salah satunya adalah alokasi APBN sebesar 20 persen, yang bila dilaksanakan dengan baik dan benar, pendidikan Indonesia dinilai dapat berkembang dengan pesat dan semua lapisan masyarakat dapat mengenyam pendidikan dengan biaya murah bahkan gratis. Namun secara faktual, pendidikan di tanah air hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Sekolah acapkali dijadikan ajang bisnis, lahan mencari keuntungan dengan beragam cara dan motif.
Semisal pada proses penerimaan siswa baru, sudah menjadi rahasia umum adanya upaya-upaya “jual jasa” dari beberapa oknum lembaga pendidikan. Lain pula, bila ditilik dari segi biaya-biaya pendidikan yang semakin bervariasi dan pasti mahal menyisakan kegelisahan bahwa ukuran sekolah yang baik dan berkualitas harus mahal, di samping masih ada pungutan-pungutan liar mengatasnamakan kebijakan sekolah-sekolah. Dan juga bukan rahasia lagi, bila di dalam kebobrokan sistem tersebut, pendidik dan birokrasi memiliki andil dalam melanggengkan peralihan fungsi sekolah dari lembaga pendidikan menjadi lembaga jual beli.
Akibatnya, sistem “pasar” ini mengakibatkan terjadinya klasifikasi pendidikan ala ideologi pasar kapitalis. Si kaya akan mengenyam pendidikan berkualitas dan si miskin mengenyam pendidikan seadanya atau tidak sama sekali alias putus sekolah. Seumpama barang mahal, hanya kaum kaya yang mampu membeli. Hal ini tentu telah mengesampingkan hak rakyat atas pendidikan dan kewajiban negara sebagai penyedia pendidikan yang layak bagi masyarakat.
Buku Sekolah Bukan Pasar (Catatan Otokritik Seorang Guru) karya ST. Kartono ini merupakan salah bentuk otokritik dan perlawanan terhadap sistem pendidikan ala pasar dan perilaku aparat pendidikan di dalamnya. Penulis dengan bernas mengurai permasalahan-permasalahan yang menimpa dunia pendidikan di tanah air. Beliau menyajikan gagasan-gagasan konstruktif dan detail dalam mengkritisi dunia pendidikan Indonesia kontemporer.
Buku ini merupakan bunga rampai artikel-artikel ST. Kartono di salah satu media massa nasional. Secara garis besar, pokok pikiran beliau dapat dirumuskan pada kesalahan sistem pendidikan yang bermuara pada money interest. Kepentingan yang bersifat pragmatis ini mulai menyelimuti seluruh sistem pendidikan. Yang terlibat di dalamnya pun beragam dan terpola sistematis dan terorganisir, mulai dari birokrat pendidikan dan pendidik.
Empat puluh tulisan dalam buku ini dipetakan dalam tiga bagian dengan konteks pendidikan yang beragam. Bab pertama, Sekolah di Zaman Kini, penulis mengulas persoalan-persoalan yang selalu menggelantungi pendidikan dewasa ini terutama terkait alih fungsi sekolah menjadi pasar. Mulai dari perihal mahalnya biaya buku, sekolah sebagai proyek dan lain sebagainya. Bab kedua adalah Tergantung pada Guru yang menjelaskan bagaimana peran sesungguhnya seorang guru beserta problematika guru kekinian semisal terjerat dalam masalah kelayakan gaji. Dan bab yang terakhir adalah Mengajarkan Keutamaan. Pada bab terakhir ini, rumusan tulisan lebih dibentuk untuk menafsiri efek pendidikan pasar terhadap objek pendidikan yakni para siswa.
Artikel-artikel penulis di dalam buku ini ditulis dari kurun tahun 1996 hingga 2008 sebagai upaya kajian perilaku pendidikan di tanah air secara berturut-turut. Bisa dibayangkan bahwa problematika pendidikan pasar ini sudah mengakar sejak 8 tahun sebelumnya atau bahkan mulai tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, persoalan-persoalan yang dihadapi dunia pendidikan masih cukup seragam: pendidikan adalah komoditas. Bila itu semua tidak dapat teratasi, sekolah sebagai ladang pasar dan pengeruk keuntungan akan semakin langgeng dan tujuan dasarnya akan tergerus oleh perilaku oknum yang tidak mendidik. Sudah saatnya sekolah dibebaskan dari suasana bisnis yang dilakukan oleh siapa pun, baik oleh birokrat pendidikan nasional, kepala sekolah atau bahkan guru sekalipun.
Sebagai praktisi pendidikan, sekumpulan artikel penulis yang telah mendedikasikan diri sebagai guru selama puluhan tahun ini, menyiratkan objektifitas tentang perilaku negatif dunia pendidikan di tanah air. Tanpa tedeng aling-aling, penulis menggali dan menyodorkan banyak fakta. Fakta-fakta yang bermunculan mengarah pada oknum yang banyak berasal dari para guru sendiri. Meskipun penulis sendiri adalah guru, tanpa keraguan sedikitpun penulis membeberkan persoalan-persoalan sekolah sebagai ajang jual beli. Karena bagi penulis, terdapat banyak ruang yang perlu dikritisi dari dunia pendidikan dan ini harus dilakukan guna memperbaiki dan meningkatkan sistem pendidikan nasional yang lebih baik dan berkualitas.
Kehadiran buku ini tentunya diharapkan mampu menjadi otokritik dan perlawanan atas silang sengkarut dunia pendidikan saat ini di Indonesia, terutama dalam kondisi seperti sekarang ini di mana kebebasan berpendapat mulai dihormati. Buku ini layak dibaca dan menjadi rujukan oleh semua orang yang memiliki perhatian terhadap dunia pendidikan, terutama bagi pengamat pendidikan, guru, birokrat pendidikan dan mahasiswa.
Semua orang punya cerita. Tetapi tidak semuanya dituliskan. Ada untuk konsumsi pribadi ada juga untuk konsumsi khalayak. Saya hanya sekedar menunaikan titah Pram. Dia bilang,"Semua harus ditulis. Apa pun.... Jangan takut tidak dibaca atau diterima penerbit. Yang penting tulis, tulis dan tulis. Suatu saat pasti berguna." (Pramoedya Ananta Toer, Menggelinding 1, 2004)
Di bawah ini adalah cerita, kisah tentang pengalaman studi. Mungkin tidak menarik bagi anda kendati hal ini masih menyisakan gelak tawa dan senyuman, minimal untuk diri saya. Ini cerita tentang sakralnya sebuah simbol. Ini adalah kisah saya dengan Samuel Huet, dosen native saat semester 4 (kalau tidak salah) Di UIN malang. Kala itu dia mengampu mata kuliah Writing III (Alhamdulillah saya mendapat E, dan saya merasa pantas, untuk kekhilafan saya di masa itu).
Are You Fascist?
Pagi hari di Joyosuko, matahari memang sudah terbit namun belum menyengat. Malah menusuk dingin, menghembuskan hawa penuh rasa ingin tidur kembali. Aku harus bangun, dosen kali ini lumayan tangguh. Tidak ada kata telat. Telat, pertanda engkau akan dipandanginya. Kalau dipandangi mahasiswa masih lumayan, sebab pandangannya dilapisi senyum. Mengejek tentunya. Sementara dosen tangguh ini tatapannya lain. Tatap penuh pengertian dan penuh kata. Memberikan pengertian padaku dan berujar,”sebaiknya anda jangan masuk, sebaiknya anda pulang.”
Sial, aku lupa. Mesin air mati. Sumur pun kering. Sudah satu hari kamar mandi bau pesing. Mau sholat saja harus ke Musholla bapak Padil di tengah sawah. Terpaksa, ku turut teman satu kontrakan menuju tempat pemandian. Namanya sungai Metro, tempat pemandian tanpa sekat, tanpa dinding pembatas. Kelebihannya, airnya sangat jernih. Jauh berbeda dari air-air di wilayah Sumbersari dan Kerto, yang pekat, kuning dan penuh zat besi. Saran saya jangan telanjang bila mandi di tempat ini, dijamin anda aman dari bahaya intip-mengintip.
Dan lagi-lagi sial. Selesai mandi dan telah sampai di pintu kamar. Aku sadar, baju-bajuku belum kering. Hanya tinggal sepotong kaos dan jaket hitam agak lusuh. Sementara jam sudah menunjukkan enam lewat seperempat pagi. Terpaksa, itu saja yang kupakai, dengan bercelana tentunya. Oh…sepertinya ku bakal berlari lagi.
***
Untung saja, di gedung B lantai dua, dari jauh kulihat teman-temanku masih bergerombol di luar kelas. Pertanda yang sangat baik untukku. Sebuah doa bodoh muncul di otakku, “tuhan, semoga dia tidak masuk saja.” Kuperlambat langkahku. Lumayan, untuk mengeringkan keringatku yang sedikit muncul di pori-pori. Sayang, doaku tidak dikabulkan. Malah dosen tangguh itu muncul dari arah yang berlawanan dan lebih dekat dengan kelas. Aduh…duh…lari lagi!
Kelas dimulai. Dosen tangguh ini emang benar-benar hebat dalam mengajar. Rencana pembelajarannya matang, materi-materinya menarik, gak bikin bosen dan seringkali diselingi dengan joke-joke. Toh, meski begitu, tidak ada jaminan mahasiswa bakal tertarik juga mendengarkan. Repot mau menyalahkan siapakah yang sebenarnya bermasalah saat sistem pengajaran tidak berlaku baik. Mahasiswa cenderung menyalahkan dosen, sebaliknya dosen menganggap mahasiswanya kurang semangat. Hanya segelintir mahasiswa yang mengakui bahwa dirinya bermasalah sebab tidak memperhatikan, tidak mengerjakan tugas-tugas yang ada dan lainnya. Dan sedikit dosen juga yang mau peduli kenapa mahasiswanya seperti itu, kebanyakan menganggap tugas saya sebatas jam kerja saja. Meski lagi-lagi ini praduga saya.
Kuliah telah selesai, meski sudah sejak seperempat jam sebelumnya bukuku sudah kumasukkan dalam tas. Sudah terbayang, mau memasak apa di kontrakan. Pecek terong apa sayur asem. Atau hanya mie kuah diselingi dengan tempe menjes ala warung mas Andik.
Bapak Samuel Huet, si dosen tangguh itu sudah mempersilahkan mahasiswanya pulang. Semuanya kompak merapikan tas dan bergegas keluar kelas. Saat hendak mendekati pintu, tiba-tiba Bapak Samuel Huet memanggilku. Sontak saja aku kaget dan langsung beralih ke mejanya. “Why do you put that symbol in your jacket?” Tanya beliau penuh penasaran. Karuan saja, aku kebingungan dan langsung melihat jaketku. Di bahuku, ya jaketku memiliki beberapa jahitan bordiran berbentuk logo. Di bahu kanan berupa bendera jerman. Di bahu kiri berupa lambang swastika, symbol NAZI di era Hitler. Barangkali dia penasaran kenapa ada lambang NAZI di jaketku. “Is there something wrong sir?” kubalik bertanya. Sebab sejauh jaket ini ini kubuat sejak semester satu, tidak ada yang mempertanyakan, kenapa harus kuberi lambang NAZI dan bendera Jerman. Yang sering malah dipinjam oleh anak-anak kontrakan (Sholeh, Idil) dan kawan-kawan di Komisariat (Idris, Miftah, Faruq dll). Bahkan, sampai ada yang menanyakan jaket ini milik kelompok apa, kok sering dipakai banyak orang. Aku hanya tergelak dan berujar dalam hati, “yang ada bukan kumpulan atau grup tapi satu jaket dipakai banyak orang.”
Dosen Samuel tidak menjawab malah bertanya lagi. Pertanyaan dijawab pertanyaan, bukanlah hal yang asing dalam komunikasi meski dapat mengasingkan pikiran jernih. “Are you fascist?”, pertanyaannya menyentakku dan menyadarkanku bahwa symbol semacam ini masih begitu berarti bagi sebagian orang. Symbol yang kita pakai adalah bagian diri kita, bukan untuk bergaya, bukan untuk gagah-gagahan di depan orang. Ini adalah salah satu bentuk dentitas kita yang membedakan diri kita dengan orang lain. Sementara banyak orang di luar sana, memakai symbol untuk menegaskan eksistensinya, saya adalah ini atau saya adalah itu. Namun hanya sebatas kulit luar tak sampai mengenal lebih dalam atau malah menjadi bagian. Hal ini seperti orang yang memakai kaus Che Guevara dan dengan serius mengatakan dia bersaudara dengan Bob Marley dan Mbah Surip. Saya sadar, seketika itu juga.
“No sir, it’s just a symbol. It’s not my ideology,” jawabku sekenanya. Tanpa penjelasan lebih lanjut, aku pamit keluar. Bayangan menanak nasi bersama teman-teman kontrakan masih cukup kuat. Hal itu tidak menggangguku. Barangkali dosen Samuel masih terbayang-bayang apakah aku keturunan fasis yang katanya pelaku holocaust itu. Entah kenapa beliau mempertanyakannya. Apakah bagi orang luar negeri, symbol tersebut masih begitu sakral hingga hanya orang dengan ideology tersebut yang berani memakainya, atau barangkali benih-benih ideology semacam itu masih berkembang di beberapa Negara seperti kaum skinhead di Inggris yang begitu benci orang imigran. Ah, untung saja ku tak memakai logo palu arit, bisa-bisa ku dilaporkan ke BIN (Badan Intelejen Negara) untuk suksesi penguatan basis komunisme. Ah, lagi-lagi pikiranku terlalu kemana-mana. Hari itu kemudian berjalan seperti biasa. Penuh dengan kegiatan-kegiatan rutin.
Kini, jaket itu telat lusuh, sebagian kancingnya telah lepas. Kini kupajang dia di lemari pakaian bersama toga. Ada banyak kenangan di sana berkumpul dengan keringat kawan-kawan yang membekas di jaket itu. Kuanggap keringat itu masih ada meski sudah kucuci berulang-ulang. Keringat yang menandakan kita sempat memiliki identitas yang sama.
Kraksaan Probolinggo, 12 Juli 2009
NB: percakapan bahasa inggris tersebut hanya rekaan, yang inti pembicaraannya semacam itu. Sudah terlalu lama untuk ingat detailnya.
Fiksi ilmiah akan memungkinkan kita semua untuk mengupas realitas dan menemukan kebenaran di dalamnya.” (Arthur C. Clarke)
Fiksi ilmiah adalah suatu bentuk fiksi spekulatif yang terutama membahas tentang pengaruh sains dan teknologi yang diimajinasikan terhadap masyarakat dan para individual. Di dunia sastra Indonesia, genre yang satu ini agak jarang disentuh. Tetapi di dunia sastra internasional, genre ini adalah genre yang sudah ada sejak pertengahan Abad 19. Jules Verne, yang kerap disebut-sebut sebagai Bapak Fiksi Sains menerbangkan balon udara dalam cerita mengelilingi dunia dengan balon selama delapan belas hari, sebelum Zeppelin menemukan balon udara; membantu NASA meluncurkan Apollo 11 dalam novelnya From The Earth to the Moon. Verne tidak menganggap novel-novelnya hanyalah khayalan. Dia yakin ada ilmuwan yang dapat mewujudkan imajinasi-imajinasi nya itu.
Di situlah letak keindahan sebuah fiksi-sains, bercerita melebihi jamannya. Yang patut digaris bawahi adalah pandangan pengarang tentang masa depan tidak hanya berpijak pada sudut pandang imajinasi semata, melainkan juga dari kaca mata ilmu pengetahuan. Berdasarkan kalkulasi akurat tentang perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan dimasa sekarang, pengarang menciptakan sebuah imaji masa depan tentang keadaan masyarakat atau makhluk lain yang berada di luar khayalan manusia di abadnya. Kemudian timbul pula pertanyaan, mengapa di Indonesia masih sedikit penulis fiksi ilmiah? Apakah karena para ilmuwan kita tidak memiliki bakat mengarang dan para pengarang kita tidak punya latar belakang sains.
Menjawab pertanyaan ini maka Himpunan Mahasiswa Fisika (HIMAFIS) Universitas Brawijaya, Malang akan mengadakan acara Science Fiction dengan tema:
Leading our future with imagination
Dengan Sub Tema Sebagai berikut:
Peserta : Umum Pengumpulan : 4 Mei – 4 Juni 2009 Persyaratan cerpen yang dilombakan :
Aspek- Aspek yang dinilai adalah :
Dewan juri:
Pengumuman pemenang Juara I, II, III dan nominator akan diumumkan pada acara seminar kepenulisan “Fiksi Ilmiah dalam Sastra Indonesia” pada tanggal 13 juni 2009 atau bisa langsung dilihat web HIMAFIS : www.himafis. brawijaya. ac.id
berita ini dilansir dari mywritingblogs.com
PT ROHTO LABORATORIES INDONESIA
Kembali menyelenggarakan: LOMBA MENULIS CERPEN REMAJA (LMCR-2009) Memperebutkan: LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD
Total Hadiah Senilai Rp 80 Juta Peserta: Terdiri dari 3 (tiga) kategori : Pelajar SLTP, SLTA dan Mahasiswa/Guru/Umum
Syarat-Syarat Lomba:
© Blogger template PingooIgloo by Ourblogtemplates.com 2009
Back to TOP